Follow my tweets on twitter!

Pages

Kamis, 12 Maret 2015

Kisah Dari Sebuah Pulau



Apa yang lebih menyenangkan selain sesuatu yang kita butuhkan datang tepat pada waktunya? Aku berbicara tentang angin yang berhembus pada musim panas. Angin terbaik. Karena ketika aku membutuhkannya, ia datang.

Ia mengayunkan dahan-dahan dan yang melekat di bagian-bagian tubuhku dengan kesejukannya. Ya, aku adalah sebatang pohon. Sebatang pohon yang tumbuh besar di sebuah pulau yang tak begitu banyak diketahui oleh dunia di luar sana. Aku adalah pohon yang paling besar di daerahku, di sekitar tempatku tumbuh, ada beberapa pepohonan yang juga besar namun tak sebesar diriku.
Mungkin karena diriku sangat besar, maka dari itu aku tak mudah ditebang dan dirobohkan seperti pohon-pohon yang lain ketika penduduk pulau ini ingin membuka lahan untuk bercocok tanam. Kapak-kapak kecil mereka tak akan mampu memotong batang tubuhku.

Beberapa hari yang lalu, ku dengar penduduk akan segera membuka lahan baru di daerah ini, termasuk tempatku tumbuh sekarang.  Aku mendengarnya dari pohon-pohon sekitar yang mulai mempersiapkan diri, bersiap untuk ditebang dan dihilangkan. Terdengar menyedihkan memang, tapi apa lagi yang bisa kami dilakukan selain bersiap untuk segala kemungkinan? Terlebih kami para pohon memang sudah ditakdirkan begitu. Aku pun sudah cukup lama menunggu giliranku, aku sudah terlalu bosan berdiri dari masa ke masa sampai aku tua seperti sekarang. Meskipun aku adalah pohon yang tampak besar dan gagah, tetap saja jiwaku tua dan sudah lebih dari cukup aku merasakan berbagai macam musim, angin, air hujan, dan menemui berbagai macam binatang yang singgah di rantingku atau berteduh dibawah dahanku.

Setiap hari, satu sampai tiga pohon berhasil ditebang. Mereka menebang secara berurutan, dari yang kecil, hingga yang lebih besar.
Sampai akhirnya, giliranku tiba.Di antara tanah yang sudah lapang dan  siap dijadikan lahan, tertinggal diriku berdiri di tengah-tengah. Seorang diri. Aku sudah siap, aku merasa bersemangat karena kurasa aku akan menjadi lebih bermanfaat ketika sudah ditebang nanti. Tubuhku yang besar akan dijadikan papan-papan untuk membangun tempat tinggal, ranting-rantingku yang nantinya kering akan dijadikan kayu bakar. 

Apa yang lebih menyenangkan selain hidup yang memiliki banyak manfaat?
Tapi seperti yang sudah ku duga. Penduduk pulau kebingungan memikirkan bagaimana caranya agar tubuhku yang besar dapat segera dan mudah ditebang.
Kulihat para penduduk yang nampak gagah itu berbicara satu sama lain dan mendiskusikan sesuatu.
Keesokan harinya, mereka datang kembali, kali ini dengan jumlah yang lebih banyak. Mungkinkan mereka akan menebangku secara beramai-ramai atau bergantian? Meskipun begitu kurasa tetap akan memakan waktu lama dan sedikit menyakitkan.

Namun sepertinya perkiraanku salah. Para penduduk yang gagah berani itu malah mulai duduk mengelilingku, sebagian naik dari dahanku.
Lalu, mereka mulai berteriak, keras sekali. Mereka meneriakan kata-kata kasar dan mulai mengutukku.

“Pohon jelek!” Kata salah satu dari mereka.

“Tidak berguna!’ teriak yang lain.

“Kau pengganggu!” “Parasit..” Mati saja kau!”

“Menyusahkan!”

Bermacam-macam  dan berulang-ulang. Aku tak mengerti mengapa mereka melakukan itu, sangat aneh. Apa yang mereka harapkan akan terjadi?

Tetapi, hari demi hari mereka melakukan kegiatan itu, mengelilingiku, meneriakkan kata-kata kasar dan kutukan. Hari ini, adalah hari keempat, aku mulai merasakan sesuatu yang aneh. Entah kenapa aku merasa sedih, tiba-tiba aku benar-benar merasa tak berguna dan kehilangan tenaga.
Hari demi hari, daun-daunku yang dulunya segar dan hijau mulai berubah warna dan satu persatu berjatuhan.  Begitu pula ranting-rantingku, mulai rapuh dan tak dapat bertahan.
Pada hari ketujuh hampir semua daunku telah rontok. Berjatuhan tanpa bisa kukendalikan. Aku merasa tidak mampu lagi menahan bagian-bagian lain tubuhku. Dan rasanya menyakitkan mendengar mereka meneriakiku setiap hari.  Jika ingin melenyapkanku, tebanglah dengan cara yang lebih cepat dan tak menyakitkan seperti ini.

Aku melihat satu laki-laki diantara para penduduk. Laki-laki yang biasa berteduh dibawah rindangnya dahanku. Lelaki berkulit hitam dengan rambut berwarna kekuningan dan mata biru yang indah.  Aku ingin menyuruhnya memberitahu penduduk agar segera saja menebangku. Tapi ia tak akan mengerti dan aku juga tak tahu cara untuk mengatakannya.

Akhirnya, pada hari kesepuluh, aku merasakan hal yang melelahkan, energiku untuk berdiri sudah menghilang bersama kata demi kata yang dilontarkan dengan nyaring itu. Batang tubuhku sudah mengering dan aku hampir mati.
Hari ini angin musim panas terasa sejuk sekali,  disaat-saat terakhirku ia datang untuk memberi sedikit kebahagiaan. 

Apa yang lebih membahagiakan selain sesuatu yang kita butuhkan datang tepat pada waktunya? Aku berbicara tentang angin yang berhembus pada musim panas. Angin terbaik. Karena ketika aku membutuhkannya, ia datang.

Tubuhku yang dulu besar dan gagah berdiri ditengah lahan terbuka. Tubuhku, yang dulu tak bisa dipotong dengan kapak, tanpa kuduga mati dengan sendirinya hanya oleh suara-suara nyaring dan kasar dari penduduk. Tubuhku, yang kini sudah kering dan tak bernyawa.

Para penduduk ini, mereka memang tak dapat dengan mudah menaklukanku dengan kapak-kapak kecil. Tapi mereka dapat dengan mudah meruntuhkanku dengan cara menghancurkan kebahagiaanku sebagai pohon yang besar dan berguna. Dengan cara sedikit demi sedikit menggerogoti rasa percayaku akan diriku.


Melda, March 12th  2015.
_____________________________________________________________________________

P.S: Cerita ini terinspirasi dari film “Little Stars On The Earth” yang menyebutkan tentang kisah dari pulau Solomon.

1 komentar: