Follow my tweets on twitter!

Pages

Minggu, 08 Maret 2015

Cerpen: Jendela dan Kursi Tua



 Dia duduk dengan memeluk kedua lututnya di atas kursi tua di samping jendela berdebu. Pada pagi hari jendela itu menghantarkan cahaya matahari yang hangat masuk ke dalam ruangan ini, mungkin karena itulah dia menyukai duduk di kursi tua itu. Untuk menghangatkan tubuhnya yang dingin. Pandangannya kosong dan bibirnya bergetar, tampak biru. Aku memeluknya dari samping, tubuhnya begitu kurus dan lesu. Aku dapat mendengar nafasnya yang lembut, aku berbisik sambil menyeka poni kusam yang melindungi dahinya.
“Kamu harus makan sesuatu, Ran.” Ia hanya bergeming.

Sudah sejak kemarin kulihat ia tak menelan apapun selain alkohol. Aku mencoba mencegahnya tapi Ran mengatakan bahwa ia harus mengumpulkan tenaga. Konyol! Alkohol-alkohol itu tak akan memberinya tenaga, sebaliknya hanya akan membuatnya mati pelan-pelan jika ia meminumnya terlalu banyak. Ia sudah meminum enam botol dan akan segera mengabiskan yang ketujuh. Wanita gila.

Aku mengkhawatirkan kebiasaannya ini, dia tak pernah mau berbicara jika ada hal yang mengganggu pikirannya. Dia hanya akan terus menerus minum sampai ia merasa lebih baik. Begitu katanya.
Aku mengenal Ran sebulan lalu di sebuah café  di pinggiran kota tempatku bekerja. Perkenalan yang sederhana, seminggu kemudian kami semakin dekat dan dia memintaku untuk tetap tinggal di kontrakannya. Aku setuju saja, toh, aku masih lajang dan tak punya siapa-siapa di kota ini. Aku hanya tinggal di sebuah kost-an yang jika hendak menuju kesana kau harus melewati gang busuk dan berbau, kusewa sebagai tempat berteduh karena harganya yang tentu saja murah. Aku tak tau dinamakan apa hubungan di antara kami ini, kami tak pernah saling menyatakan cinta. Tapi, aku merasa sayang kepadanya. Dan kami, melakukannya seperti sepasang kekasih.

Aku tak pernah benar-benar bisa mengerti apa yang diinginkan wanita ini. Sikapnya selalu dingin, seperti juga tatapannya. Tapi aku menyukainya.
Sekali ia pernah berbicara hal aneh kepadaku saat kami baru terbangun pada suatu pagi buta. Ia mendekatkan bantalnya ke samping kepalaku, mengelus rambutku; tangannya terasa begitu lembut dan hangat.

“Apa kau pernah merasa waktu berjalan sangat cepat, Rai?” Ucapnya.

“Maksudmu?” 

“Seperti, hari yang kamu lalui hanya berjalan sia-sia.”

“Hmmm.. Saat merasa bahagia, saat aku tertidur, dan saat aku melakukan hal yang aku sangat sukai, saat-saat seperti itu waktu akan terasa berlalu sangat cepat, kurasa. Tetapi aku tidak merasa semua itu sia-sia.” Jawabku sekenanya. Aku ingin mengatakan saat dia berada di sampingku juga membuat waktu berjalan cepat, tapi aku tak bisa mengatakan hal seperti itu. Aku bukan pria yang romantis.
Dia membasahi bibir tipisnya.

“Kau tahu, Rai? Waktu juga akan terasa berlari begitu cepat ketika kita merasa sangat takut dengan sesuatu yang akan kita temui di depan sana.”

Aku rasa aku sedikit mengerti maksud Ran. Seperti saat aku mengkhawatirkan batas waktu hutangku, karena uang yang harusnya kukembalikan belum juga terkumpul. Aku merasa sangat takut para penagih hutang akan datang dan membayangkan mereka memukuliku. Waktu terasa sangat cepat saat itu.
Tapi kenapa dia menanyakan hal seperti itu? Aku tak bertanya dan juga tak begitu ingin tau.
Dia juga mengatakan bahwa ia hanya dapat merasakan bahagia ketika berada dalam keadaan setengah bermimpi. Aku tak mengerti apa maksudnya, untuk seorang pria yang hanya tau cara mencari uang untuk mengisi perut sepertiku, tak pernah aku berpikir terlalu jauh atau terlalu dalam.
Seminggu lalu aku melihatnya tengah menulis sesuatu pada sebuah kertas lusuh.
“Kamu sedang menulis apa, Ran?” Tanyaku penasaran.

“Surat.”

“Untuk siapa?”

“Untuk diriku sendiri.”

Aku tersenyum kecil, mungkin ada beberapa orang di dunia ini yang menulis surat untuk diri sendiri. Tapi tak banyak, aku yakin. Aku membiarkannya melakukan apa yang dia inginkan, termasuk menulis surat untuk dirinya sendiri. Setiap orang berhak untuk melakukan apa yang mereka inginkan atau mereka sukai, bukan? Sungguh tidak adil menghakimi sesuatu yang orang lain anggap bisa membuat dirinya senang hanya karena bagimu itu aneh. Toh, itu tidak membahayakan dirinya atau orang lain.

Tiga hari lalu dia memberikan sebuah kertas dengan tulisan tangan di atasnya padaku.

“Bacalah.” Katanya.

“Apa ini suratmu itu?” Dia mengangguk.

Aku mulai membaca surat itu;

Kepada Ranaya ,
Tadi malam aku melihat ibu dalam mimpiku, dia sedang menyisir rambutnya di depan cermin di meja riasnya. Dia mengenakan gaun berwarna biru tua yang cantik. Aku memeluknya erat, kemudia dia menghilang. Aku merindukannya Ran. Aku rindu ketika dia menyisir rambutku, aku rindu saat dia menyanyikanku lagu sebelum tidur. Aku selalu merasa sejak ibu pergi meninggalkanku, aku tak akan bisa bahagia lagi. Aku merasa kekuatanku hilang, hanya aku yang dia miliki. Tapi kenapa dia meninggalkanku begitu saja?
Aku tahu persis bagaimana kau menjalani hidupmu sejak itu, dari bulan dan tahun-tahun. Kau selalu bertanya-tanya setiap hari, apakah besok kau akan mati? Kau sudah bertambah dewasa sekarang, Ran. Kau selalu berakata bahwa kau ingin nanti mati dengan sebuah arti.
Ran, sekarang aku melihatmu berada dekat dengan seseorang. Aku tau dia orang yang baik, kan? Aku bisa merasakan senyumnya yang tulus kepadamu. Dia berkata “Jangan gunakan telapak tanganmu untuk menghukum kesedihan.” Kau harus mendengarkannya, Ran.
Aku melihat pantulan bayangan pucatmu pada air setiap pagi, aku tahu kau merasa tak berarti. Tapi kau harus bertanya pada seseorang, mungkin kau berarti baginya.
Terlalu pagi untuk menjadi besok yang kau tanyakan, jika kau rindu katakanlah.
Jangan membuang waktu hanya untuk orang yang ingin pergi darimu.
Dari Ranaya.

Begitulah isi surat itu, aku tak berkata apa-apa selain memeluknya dengan erat. Ada sesuatu yang tak ingin aku lepaskan sekarang dari wanita ini.

Hari ini aku pulang dari pekerjaan pukul setengah sebelas malam, berjalan dengan sedikit terburu-buru sambil membawa beberapa kue coklat yang harum baunya. Aku harus membujuk Ran untuk makan, kalau perlu aku akan memaksanya, aku takut dia akan benar-benar mati. Sekarang aku merasa sangat takut jika sampai kehilangannya.

Seketika darah terasa memanas disekujur tubuhku saat aku memasuki pintu kamar kami, lututku lemas hampir tak mampu menopang tubuh yang tak seberapa beratnya ini. Bungkusan kue yang kubawa terjatuh begitu saja. Aku melihat Ran tergolek lemah di kursi tua itu, dengan darah mengalir yang berasal dari nadinya. Bergegas aku menghampiri tubuh Ran, aku hampir menagis karena panik.

“Ran, apa yang kau lakukan?!” Bentakku.

Dia hanya tersenyum, aku harus segera membawanya ke rumah sakit. Tepat saat aku mengangkat tubuhnya, aku merasakan sesuatu yang mengganjal diperutku. Tiba-tiba udara seakan menjauh dari tempatku benafas. Sesak. Tubuhku ambruk, dan Ran terhempas dari gendonganku.
Dalam pandangan separuh menggelap aku melihatnya tanganya menggenggam jemariku. Dengan suara dingin namun terdengar manis dia berkata,

“Rai, kita akan pergi… Kita akan pergi ke dalam mimpiku, besama-sama.”

Aku bahkan tak berusaha membantah keinginan gilanya itu. Mungkin karena, aku mencintainya.

Banjarbaru, 23 February 2015.

Pic: http://www.tavakkol.info/files/Solitude3.JPG

Tidak ada komentar:

Posting Komentar