Follow my tweets on twitter!

Pages

Rabu, 18 Maret 2015

Beberapa Pertanyaan dan Hal Lainnya



Aku tak begitu terkejut ketika ibu mengatakan bahwa dua minggu lagi aku akan dinikahkan dengan Ridha, anak dari sepupu ayahku yang juga sekampung dengan kami. Karena memang begitulah caranya hampir semua gadis di kampung-ku menikah, dengan cara perjodohan dan pada usia yang terlalu muda menurut orang-orang yang tinggal di kota, 13 tahun.

Sudah menjadi “Budaya” di sini, jika anak gadis sudah mengalami menstruasi dan bisa memasak, maka sang orang tua akan segera memikirkan calon suami dan tanggal pernikahan. Katanya untuk menghindari hal yang tidak diinginkan, karena pada usia kami yang sudah mulai mempunyai rasa ketertarikan terhadap lawan jenis, bisa saja melakukan hal-hal yang dapat mempermalukan keluarga. Dan, tentu saja agar para orang tua dapat bernafas lega, ketika anak gadisnya sudah bersuami, maka suaminya-lah yang bertanggung jawab memberi nafkah dan menuntun si gadis menjalani kehidupan.

Pagi ini terlihat dan terasa sama seperti biasanya, harum dari tanaman yang dijatuhi embun menyegarkan pikiran, juga kabut tipis yang menyeruak masuk ke kamarku ketika jendela terbuka.
Hanya saja, dari semalam aku terus memikirkan diriku yang dalam dua minggu lagi akan menjadi seorang istri. Sejak kecil, aku sudah melihat banyak pernikahan di kampung ini, kebanyakan dari perjodohan dan sisanya karena memang ada rasa ketertarikan serta pilihan satu sama lain. Dulu aku berpikir memang begitulah jalannya, setiap wanita dan laki-laki memiliki tugas dan perannya masing-masing yang harus dipenuhi. Setelah menjadi seorang anak, kau akan menjadi seorang istri atau suami, lalu menjadi seorang Ibu atau seorang ayah, dan seterusnya sampai akhirnya meninggal dunia. Sederhana.

Tapi isi kepalaku kini menjadi agak kacau. Sebab, beberapa bulan lalu para mahasiswa yang PKL di kampungku mendirikan sebuah perpustakan kecil untuk umum, dan aku mulai sering datang kesana dan membaca banyak buku.

Kak Nisa, salah satu mahasiswa itu dengan senyuman bertanya padaku.

“Yasmin, cita-citamu apa?”

Aku sudah pernah mendapatkan pertanyaan itu sewaktu disekolah dasar, ibu guru yang bertanya, semua anak-anak dikelas menjawab dengan jawaban yang beragam, ada yang ingin menjadi dokter, guru, pilot, dan lain sebagainya yang beberapa waktu ini ku sadari semua itu tak pernah benar-benar menjadi cita-cita. Aku yakin teman-teman di kelasku  menjawab bukan karena mereka memang ingin menjadi semua itu, tapi karena hanya profesi itu saja yang mereka pernah ketahui.

Sekarang aku mulai bertanya-tanya tentang bagaimana kehidupanku nanti setelah menikah? Apakah aku akan menjadi istri yang baik? Apakah Ridha akan menjadi suami yang tepat bagiku? Apakah aku akan bahagia?

Pertanyaan terakhirlah yang paling mengganggu pikiranku. Sebuah pertanyaan yang tak pernah terpikirkan olehku sebelumnya, sebuah pertanyaan yang tiba-tiba saja menjadi penting untukku.
Ridha adalah pemuda yang baik, aku bisa mengetahuinya karena aku sering bermain dengannnya sejak kecil. Tapi, bagaimana jika nanti aku tidak menyukainya sebagai suamiku? Atau, bagaimana jika aku akan lebih senang jika aku menjalani kehidupan yang lain selain menjadi seorang istri pada usia muda seperti sekarang?

Aku berpikir tentang pernikahan yang seharusnya dilakukan dengan rasa cinta satu samalain agar menjadi sebuah rumah tangga yang bahagia, seperti yang kubaca dalam novel-novel romantis. Bukan karena kewajiban sebuah peran.

Jika dulu aku menyetujui ide tentang peran ini, kini pandanganku sudah berubah. Aku tidak ingin nantinya pernikahanku menjadi pernikahan yang sudah pernah dialami pasangan muda yang lain, karena terlalu muda dan belum matang, akhirnya permasalahan dalam rumah tangga pun tidak bisa diselesaikan secara dewasa dan berujung pada perceraian. Sekali lagi, aku berpikir pernikahan seharusnya dilakukan dengan atas dasar cinta dan keyakinan penuh pada pasangan yang sebisa mungkin satu untuk seumur hidup.

Aku pernah menyaksikan beberapa cerita di televisi, di mana ketika gadis yang tidak setuju untuk dinikahkan dengan pria pilihan orang tuanya akan memberontak atau nekat kabur dari rumah. Aku bisa saja melakukan hal seperti itu jika aku tiba-tiba merasa sangat tidak ingin menikah sekarang, tapi  aku tidak ingin membuat orang tuaku sedih dan malu. Percayalah, jika kau lahir dan dibesarkan di sebuah kampung seperti ini, sulit untuk tidak menjadi orang yang sentimental.

Sama hal-nya seperti Laila, kakak kelasku yang kabarnya sekarang sering melamun dan berbicara sendiri karena tidak tahan terus ditekan oleh orang tuanya agar segera menikah karena adik perempuannya akan segera dinikahakan, dan tentu saja pelangkahan seperti itu dianggap sesuatu yang sangat tidak dianjurkan dalam pendapat masyarakat di kampung seperti ini. Laila menolak laki-laki yang dijodohkan dengannya, tapi dia juga belum bisa menemukan orang yang dia inginkan untuk menjadi pasangan hidupnya. Dalam situasi seperti itu, sebuah keputusan pasti apa saja yang datang  ke dalam kepalamu rasanya akan menyenangkan daripada terus didesak saat kau tidak yakin atas pilihanmu sendiri. Masalahnya, bagaimana kau bisa yakin bahwa kau sudah mengambil pilihan yang tepat jika kau memikirkan pilihanmu mungkin saja tidak lebih penting dan tidak lebih menyenangkan daripada pilihan yang lain. Akhirnya pilihan-pilihan itu membuatmu tenggelam dan tak bisa bernafas karena kau tidak bisa memilih semuanya.

Pernikahan dari perjodohan dan atas dasar kewajiban akan peran ini seperti sebuah kepastian yang tidak pasti. Aku belum merasa siap untuk menerima kekecewaan di tengah jalan nanti karena mulai saat ini aku menaruh harapan besar dalam kehidupan pernikahanku, harapanku itu adalah kebahagiaan.

Hari ini, ketika wajahku sudah dirias sedemikian rupa dan pakaian pengantin tradisional sudah terpasang di badanku. Orang-orang dan kerabat jauh berdatangan, bau-bau harum yang asing tercium disetiap sudut kamar.

Hari ini, pada akhirnya, aku tak bisa melakukan apa-apa untuk melawan budaya tak tertulis ini. Terlalu banyak kebimbangan saat aku ingin memutuskan untuk melakukan suatu hal agar pernikahan ini ditunda sampai aku merasa siap. 

Saat penghulu bersiap dengan Ridha yang duduk di hadapannya dan dikelilingi orang-orang sebagai saksi. Ijab Kabul diucapkan,

“Bagaimana? Sah..?” Tanya pak penghulu.

Dan saat semua orang serentak mengatakan “Sah” aku mendapati pipiku basah.





Melda, 18th February 2015.

Pic Source 

1 komentar: