Follow my tweets on twitter!

Pages

Minggu, 29 Maret 2015

Talking About Movie: Boyhood

Tertarik nonton film ini habis nonton oscar. Ternyata film ini dikerjain dalam waktu 12 tahun. Wow, saluteeee...!
Keseluruhan film ini mengisahkan tentang Mason (Ellar Coltrane) yang dari umur 6 sampai 18 tahun. Diliat-liat, si Mason makin gede kok makin mirip sama Ethan Hawke ya? Dia yang jadi peran ayah si Mason.



Biasanya sebelum nonton film, gue liat-liat review di blog orang dulu, banyak gue temui ke-boring-an di sana. Karena emang film-nya berdurasi hampir 3 jam dan tanpa klimaks. Bagi penyuka film gerak cepat, mereka sudah pasti melipir dari menit ke 30, atau mungkin kurang. heheh..

Mason dengan kakak perempuannya Samantha yang agak-agak, lucu, tinggal sama sama ibunya karena orang tuanya berpisah. Perjalanan hidup Mason inilah yang dijadikan cerita, gak ada yang terlalu spesial, tapi gue beneran sukaaa sama ni film.

Dari awal film sampai akhir gak ada tuh gue ngerasa boring, malah pengen nambah durasi. Haha
Mungkin karena bawaan gue emang dari sononye suka nonton film Jepang yang rata-rata kayak gini, datar dan anti klimaks. Gue adalah penikmat film disepanjang cerita, jadi gak masalah gak ada ending yang memuaskan atau puncak adegan(?)
Sama kayak film Before Sunset, Sunrise dan Midnight. Teman gue bilang "Film apaan sih nih?" Padahal gue udah berapa kali ngulang nonton film itu gak bosen-bosen.

Sedikit curhat, gue iri banget dengan keterbukaan orang-orang di sana, sama keluarga, sama siapapun gak ada yang terlalu nyimpen unek-unek sendiri, semuanya jelas dan diperjelas. They have those all good talking to each other. Itu udah jadi budaya mereka.

Kebanyakan kita kan, gak enakan, jadinya disimpen sendiri, akhirnya marah-marah dan melampiaskan ke hal lain. Hehe
Dalam keluarga gue sendiri, gue akui gue selalu menghindari yang namanya perbincangan awkward, saru, dan tabu sama orang tua gue. Padahal itu penting loh dalam keluarga. Hmm..
Bukan cuma yang awkward sebenernya, gue punya big huge problem dalam berkomunikasi kalo menyangkut masalah isi hati. *Halah.. Jadi sebisa mungkin gue selalu menghindar dan menghindar. I wish i could break the ice, but.. I just couldn't.

Gue sedikit prihatin sama peran ibunya si Mason di sini, harus membiayai dan mengurus 2 anak yang kecil sambil harus ngambil kuliah lagi demi hidup yang lebih mapan. Pernikahan dan perceraian disela semuanya, meskipun dia keliatan hebat dan kuat.. Pada akhirnya keluar juga kalimat,

"I knew this day was coming. I just... I didn't know you were going to be so fucking happy to be leaving. You know what I'm realising? My life is just going to go. Like that. This series of milestones. Getting married. Having kids. Getting divorced. The time that we thought you were dyslexic. When I taught you how to ride a bike. Getting divorced... again. Getting my masters degree. Finally getting the job I wanted. Sending Samantha off to college. Sending you off to college. You know what's next? Huh? It's my fucking funeral! Just go, and leave my picture! I just thought there would be more."


This is what i am worry about these days!

Seperti bercermin pada ketakutan gue selama ini, setiap orang tua gue membahas tentang pernikahan gue suatu hari nanti gue selalu takut untuk membayangkan. Karena gue merasa belum melakukan apa-apa, karena begitu banyak orang yang gue kagumi dan setidaknya gue pengen melakukan apa yang mereka lakukan dalam hidup gue. Sebelum menikah, dan terikat dalam suatu keadaan sepertinya ibunya Mason. Meskipun gak semua pernikahan bakalan bikin kita gak bebas, tapi punya pasangan seperti pasangan @DuaRansel itu 0000000,1/100. Lol!

Is my life going to be pointless? Forgotten after funeral?

Or to be remembered? I don't know, you don't know.


Kamis, 26 Maret 2015

Gue Benci (18+)

  1. Gue benci ketika udara terlalu panas
  2. Gue benci ketika paket kartu AS 1000/hari gue dilelet-leletin sama operator biar gue beli yang mahalan
  3. Gue benci Kalimantan masuk zona 5 jadinya harga paket internet-nya mahalan dibanding yang pulau Jawa
  4. Gue benci ketika port USB gue aus
  5. Gue benci ketika link film yang gue mau malah rusak
  6. Gue benci baterai laptop gue bocor
  7. Gue benci ketika gue harus nyuci piring habis makan
  8. Gue benci setiap gue bangun tidur sprei kasur gue berantakan
  9. Gue benci PLN matiin listrik
  10. Gue benci saat download udah mau selesai internet malah Disconnect dan gak bisa diresume download
  11. Gue benci ketika gue masih pengen makan, mulut gue capek ngunyah
  12. Gue benci ketika harus basa basi
  13. Gue benci dibangunin pagi
  14. Gue benci dibilang kebanyakan main laptop
  15. Gue benci ketika gue beli bahan masakan di warung lalu ditanya “Mau bikin apa?”
  16. Gue benci tv di kamar gue antenanya nyari ribut
  17. Gue benci headset gue cepet rusak
  18. Gue benci ketika email gue isinya tawaran dari Bank doang
  19. Gue benci buah rambutan di belakang rumah gue makin susah di naikin
  20. Gue benci harus mandi tiap hari
  21. Gue benci ketika gue posting novel baru di sosmed ada yang komen “Mending baca yasin!” Yeah, i will read it on your funeral!
  22. Gue benci ketika status pesbuk gue dikomenin OOT
  23. Gue benci pas baru mau mandi ujan, ujannya berhenti
  24. Gue benci HP gue baterainya cepat low
  25. Gue benci makan bisa basi
  26. Gue benci orang yang spam like di akun gue
  27. Gue benci orang yang komen di IG artis “agamanya apa ya?” Situ petugas KTP?
  28. Gue benci mantan gue ngira kita pernah pacaran
  29. Gue benci ketika kawan bapak/ibu gue nyeletuk “Wah, anaknya udah gede, bentar lagi nih” PRET.
  30. Gue benci harga Indomie naik
  31. Gue benci masak nasi
  32. Gue benci nyuci baju
  33. Gue benci colokan lampu dapur gue keras banget
  34. Gue benci dangdut
  35. Gue benci tetangga gue sering nyetel musik dangdut keras banget
  36. Gue benci orang-orang sok ngerti politik
  37. Gue benci orang yang merasa superior
  38. Gue benci RCTI kebanyakan sinetron
  39. Gue benci parody film favorit gue
  40. Gue benci roti Rugby di Breadlife selalu kehabisan
  41. Gue benci info tai ment selalu bahas artis gak penting
  42. Gue benci kucing gue gak bisa ngomong

Sabtu, 21 Maret 2015

Karena Kita Tidak Pernah Berjalan Dalam Sepatu Mereka


Sebenarnya udah lama gue pengen nulis tentang ini, cuma kelupaan terus.

Awalnya karena gue kenal orang yang bermasalah dengan self-harming. Bagi yang belum tau, Self-harming adalah perilaku menyakiti diri sendiri dengan cara seperti cutting, bahasa kerennya nyilet. Banyak orang yang mungkin nganggep orang nyilet ini sebagai cari perhatian doang dan buat keren-kerenan. Tapi ini masalah serius, pelaku merasa dengan sakit yang mereka ciptakan ditubuh mereka, sakit emosional bisa teredam. Jadinya mereka addicted bahkan sampai bertahun-tahun.

Pas gue tanya kenapa dia melakukan itu, jawabanya:

- Karena dia sering dibully, dibilang gendut, item, jelek, dan gak pantes.

Ah masa gara-gara diledekin gitu doang sampai nyakitin diri sendiri. Well.. Lo gak akan ngerti sampai lo ngalamin sendiri gimana sakit hatinya dijadiin bahan becandaan secara fisik.
Persoalan gini emang sering dianggap remeh karena mereka yang cuma menyaksikan gak ngerasa.

Kalo kata pepatah Banjar, "Urang lain cuma sahibar mamandang, kita jua nang manyandang. "

Saat kalian bilang "Ah, kita kan cuma becanda." Sebenarnya becandaan kalian gak lucu sama sekali.

Gue sendiri udah sering ngalamin begini, karena gue sekarang gendut, gue sering dijadiin bahan becandaan. Gue ikut ketawa, tapi sebenarnya jauh dalam lubuk hati paling dalam gue merasa sakit hati. Kalo gak percaya lo tanyain aja ke orang gendut, mereka benar-benar senang, kah, saat diketawain?

Saat kalian bilang "ya ampun, gendutan banget sekarang" kita hanya bisa tertawa kecut. Parahnya lagi ada yang begok nanya "Makan apa sih kok bisa begini??" MENURUT NGANA?

Bahkan karena gue bosan digituin, gue males kumpul sama orang banyak.

Gue pengen banget deh pindah ke Jepang, karena konon katanya, membahas perihal berat badan seseorang adalah hal yang tidak sopan di sana. hahaha..

Untungnya, karena sering diledekin gendut, gue larinya ke pembuktian diri. Gue bakal buktiin gue bisa kurus lagi kayak dulu kala, gue juga bakal bisa makai baju-baju bagus seperti kalian wahai Skinny bitches!

Tapi gimana sama mereka yang akhirnya jadi down dan membenci diri mereka sendiri ketika melihat cermin? Percaya diri-nya runtuh? Merasa gak pantes dilingkungan?

Ya jadinya kaya kenalan gue ini, menghukum diri sendiri, merasa gak ada yang bisa menerima dia. Karena dia merasa putus asa atau depresi untuk meminta bantuan dan menerima bantuan untuk keluar dari perasaan sakit hati. Akhirnya mengekpresikan rasa sakit hati dengan nyakitin badan.

"I just need to feel pain" She said.



Kalimat yang gak berguna dan hanya memperburuk keadaan bagi mereka adalah..

"Ya elahh.. Kaya gitu doang nangis-nangis, kaya gitu doang nyakitin diri."

"Jangan nyakitin diri sendiri, gak ada gunanya!"

atau

 "Ngapain sih cutting? Gak nyelesain masalah."

Jadi daripada ngeluarin kata-kata gak berguna, kasih mereka dukungan buat berubah, yakinin kalo mereka juga berharga, bahwa mereka juga sama pentingnya kayak yang lain.
Kalo kalian gak bisa merubah keadaan, mending diam ajalah daripada melontarkan kata-kata yang menyakiti orang lain.

Janga anggap remeh masalah orang lain, karena kita tidak pernah berjalan dalam sepatu mereka.









Rabu, 18 Maret 2015

Beberapa Pertanyaan dan Hal Lainnya



Aku tak begitu terkejut ketika ibu mengatakan bahwa dua minggu lagi aku akan dinikahkan dengan Ridha, anak dari sepupu ayahku yang juga sekampung dengan kami. Karena memang begitulah caranya hampir semua gadis di kampung-ku menikah, dengan cara perjodohan dan pada usia yang terlalu muda menurut orang-orang yang tinggal di kota, 13 tahun.

Sudah menjadi “Budaya” di sini, jika anak gadis sudah mengalami menstruasi dan bisa memasak, maka sang orang tua akan segera memikirkan calon suami dan tanggal pernikahan. Katanya untuk menghindari hal yang tidak diinginkan, karena pada usia kami yang sudah mulai mempunyai rasa ketertarikan terhadap lawan jenis, bisa saja melakukan hal-hal yang dapat mempermalukan keluarga. Dan, tentu saja agar para orang tua dapat bernafas lega, ketika anak gadisnya sudah bersuami, maka suaminya-lah yang bertanggung jawab memberi nafkah dan menuntun si gadis menjalani kehidupan.

Pagi ini terlihat dan terasa sama seperti biasanya, harum dari tanaman yang dijatuhi embun menyegarkan pikiran, juga kabut tipis yang menyeruak masuk ke kamarku ketika jendela terbuka.
Hanya saja, dari semalam aku terus memikirkan diriku yang dalam dua minggu lagi akan menjadi seorang istri. Sejak kecil, aku sudah melihat banyak pernikahan di kampung ini, kebanyakan dari perjodohan dan sisanya karena memang ada rasa ketertarikan serta pilihan satu sama lain. Dulu aku berpikir memang begitulah jalannya, setiap wanita dan laki-laki memiliki tugas dan perannya masing-masing yang harus dipenuhi. Setelah menjadi seorang anak, kau akan menjadi seorang istri atau suami, lalu menjadi seorang Ibu atau seorang ayah, dan seterusnya sampai akhirnya meninggal dunia. Sederhana.

Tapi isi kepalaku kini menjadi agak kacau. Sebab, beberapa bulan lalu para mahasiswa yang PKL di kampungku mendirikan sebuah perpustakan kecil untuk umum, dan aku mulai sering datang kesana dan membaca banyak buku.

Kak Nisa, salah satu mahasiswa itu dengan senyuman bertanya padaku.

“Yasmin, cita-citamu apa?”

Aku sudah pernah mendapatkan pertanyaan itu sewaktu disekolah dasar, ibu guru yang bertanya, semua anak-anak dikelas menjawab dengan jawaban yang beragam, ada yang ingin menjadi dokter, guru, pilot, dan lain sebagainya yang beberapa waktu ini ku sadari semua itu tak pernah benar-benar menjadi cita-cita. Aku yakin teman-teman di kelasku  menjawab bukan karena mereka memang ingin menjadi semua itu, tapi karena hanya profesi itu saja yang mereka pernah ketahui.

Sekarang aku mulai bertanya-tanya tentang bagaimana kehidupanku nanti setelah menikah? Apakah aku akan menjadi istri yang baik? Apakah Ridha akan menjadi suami yang tepat bagiku? Apakah aku akan bahagia?

Pertanyaan terakhirlah yang paling mengganggu pikiranku. Sebuah pertanyaan yang tak pernah terpikirkan olehku sebelumnya, sebuah pertanyaan yang tiba-tiba saja menjadi penting untukku.
Ridha adalah pemuda yang baik, aku bisa mengetahuinya karena aku sering bermain dengannnya sejak kecil. Tapi, bagaimana jika nanti aku tidak menyukainya sebagai suamiku? Atau, bagaimana jika aku akan lebih senang jika aku menjalani kehidupan yang lain selain menjadi seorang istri pada usia muda seperti sekarang?

Aku berpikir tentang pernikahan yang seharusnya dilakukan dengan rasa cinta satu samalain agar menjadi sebuah rumah tangga yang bahagia, seperti yang kubaca dalam novel-novel romantis. Bukan karena kewajiban sebuah peran.

Jika dulu aku menyetujui ide tentang peran ini, kini pandanganku sudah berubah. Aku tidak ingin nantinya pernikahanku menjadi pernikahan yang sudah pernah dialami pasangan muda yang lain, karena terlalu muda dan belum matang, akhirnya permasalahan dalam rumah tangga pun tidak bisa diselesaikan secara dewasa dan berujung pada perceraian. Sekali lagi, aku berpikir pernikahan seharusnya dilakukan dengan atas dasar cinta dan keyakinan penuh pada pasangan yang sebisa mungkin satu untuk seumur hidup.

Aku pernah menyaksikan beberapa cerita di televisi, di mana ketika gadis yang tidak setuju untuk dinikahkan dengan pria pilihan orang tuanya akan memberontak atau nekat kabur dari rumah. Aku bisa saja melakukan hal seperti itu jika aku tiba-tiba merasa sangat tidak ingin menikah sekarang, tapi  aku tidak ingin membuat orang tuaku sedih dan malu. Percayalah, jika kau lahir dan dibesarkan di sebuah kampung seperti ini, sulit untuk tidak menjadi orang yang sentimental.

Sama hal-nya seperti Laila, kakak kelasku yang kabarnya sekarang sering melamun dan berbicara sendiri karena tidak tahan terus ditekan oleh orang tuanya agar segera menikah karena adik perempuannya akan segera dinikahakan, dan tentu saja pelangkahan seperti itu dianggap sesuatu yang sangat tidak dianjurkan dalam pendapat masyarakat di kampung seperti ini. Laila menolak laki-laki yang dijodohkan dengannya, tapi dia juga belum bisa menemukan orang yang dia inginkan untuk menjadi pasangan hidupnya. Dalam situasi seperti itu, sebuah keputusan pasti apa saja yang datang  ke dalam kepalamu rasanya akan menyenangkan daripada terus didesak saat kau tidak yakin atas pilihanmu sendiri. Masalahnya, bagaimana kau bisa yakin bahwa kau sudah mengambil pilihan yang tepat jika kau memikirkan pilihanmu mungkin saja tidak lebih penting dan tidak lebih menyenangkan daripada pilihan yang lain. Akhirnya pilihan-pilihan itu membuatmu tenggelam dan tak bisa bernafas karena kau tidak bisa memilih semuanya.

Pernikahan dari perjodohan dan atas dasar kewajiban akan peran ini seperti sebuah kepastian yang tidak pasti. Aku belum merasa siap untuk menerima kekecewaan di tengah jalan nanti karena mulai saat ini aku menaruh harapan besar dalam kehidupan pernikahanku, harapanku itu adalah kebahagiaan.

Hari ini, ketika wajahku sudah dirias sedemikian rupa dan pakaian pengantin tradisional sudah terpasang di badanku. Orang-orang dan kerabat jauh berdatangan, bau-bau harum yang asing tercium disetiap sudut kamar.

Hari ini, pada akhirnya, aku tak bisa melakukan apa-apa untuk melawan budaya tak tertulis ini. Terlalu banyak kebimbangan saat aku ingin memutuskan untuk melakukan suatu hal agar pernikahan ini ditunda sampai aku merasa siap. 

Saat penghulu bersiap dengan Ridha yang duduk di hadapannya dan dikelilingi orang-orang sebagai saksi. Ijab Kabul diucapkan,

“Bagaimana? Sah..?” Tanya pak penghulu.

Dan saat semua orang serentak mengatakan “Sah” aku mendapati pipiku basah.





Melda, 18th February 2015.

Pic Source 

Senin, 16 Maret 2015

Perasaan Gue Terhadap Lalu Lintas Banjarmasin

Entah kenapa malam-malam mau bahas ginian, mungkin karena biasa lagi galau gue suka kemana-mana pikirannya. Sampai-sampai lalu lintas juga tiba-tiba jadi pikiran.

Sebenernya yang lebih spesipik di sini gue mau sedikit curhat tentang yang dinamakan "Taksi Hulu Sungai" Kalo orang Banjar atau yang tinggalnya di KalSel mungkin udah tau kan apa itu taksi hulu sungai. Kalo orang yang belum pernah ke sini mungkin mikirnya itu adalah taksi yang biasa pakai argo? Haha.. Prets. Salah besar! Atau mungkin malah mikirnya Taksinya ada di sungai?

Gue jelasin..
Taksi di sini adalah angkot. Iya, angkot yang warnanya biasanya ijo, dan kalo taksi hulu sungai itu yang warnanya putih. Disebut taksi hulu sungai karena mungkin jurusannya adalah PP dari daerah hulu sungai (Kab.Tapin) ke Banjar.

banjarmasin.tribunnews.com


Terus kenapa gue mau curhat tentang taksi jenis ini?

Karena eh karena, ceritanya kemaren gue abis dari Banjarbaru mau balik ke Pengaron, kampung gue. Nah, pas di jalan, ada berapa kali yaks gue hampir nyungsep ke sawah gara-gara disalip taksi ini, padahal gue udah ngambil jalan paling pinggir biar aman dan selow. Taksi putih ini emang raja jalanan banget, gak mau tau lagi hujan atau pun bersalju, tetep aja dia ngebut.
Ya.. Ya.. Gue ngerti para paman-paman supir cuma mau cepet sampai karena jarak yang lumayan jauh, tapi gak gitu juga. Gue rasa para supir taksi hulu sungai ini menganut prinsip "Cepat sampai yang utama, keselamatan nomer dua!" Waja sampai ka puting!(?)

Jalanan di KalSel emang gak pernah macet-macetan, paling pas tahun baruan doang yang macet. Mankanya disini orang doyan ngebut. Apalagi kalo udah memasuki daerah Kabupaten Tapin, Taksi Hulu Sungai maupun kendaraan pribadi sama-sama saingan, gak kalah saing juga buat mobil perusahaan sama truk. Fyuhhh..!

Bukannya mau sombong, tapi dari kecil sampai sekarang gue cuma pernah naik angkot sekali itu pun yang warna ijo. Dari dulu udah terbiasa naik motor, jadinya cepet mavok kalo naik kendaraan roda empat. Kebayang gimana gue kalo dimasukin ke dalam taksi hulu sungai ini?

Belum lagi klakson maut yang siap dibunyikan setiap detik, walaupun ini taksi gak bisa nyalip, karena jalanan penuh dia tetep klakson sebanyak mungkin, juga masalah nge-rem mendadak. Duhh!! Rasanya pengen gue bikinin jalan khusus angkutan umum di bawah tanah, tapi yang ada jalan bawah tanahnya jadi penuh air

Pusing sama semrawutnya jalanan darat, gue jadi teringat sama waktu jaman gue kecil Ketika belum banyak orang yang punya kendaraan, setiap hari di sungai selalu ada lalu-lalang perahu mesin (kelotok) buat transportasi, sekarang mah sungai-nya aja udah gak kece lagi!   

Jumat, 13 Maret 2015

We Will




Suatu saat entah dimana, kita… Akan menari di tengah hamparan bunga daisy yang merekah di bawah hujan. Angin bertiup tak menjadikannya badai, dalam kehidupan yang lain, yang lebih sederhana, dengan kesetiaan. Dimana nafas tak kita perlukan. Hanya ada bunga-bunga itu, bunga-bunga daisy yang sederhana, sederhana seperti kasih yang kita jaga.

Tetaplah tersenyum, kita akan bertemu saat waktunya tiba, kita akan bercerita tentang akar-akar yang tumbuh tersembunyi namun tetap menjaga perasaannya. Tentang daun-daun yang menjaga akar yang menjaganya. Entah dalam gelap atau terang, dalam sepi maupun tempat penuh irama. Kita adalah kita. Meski sama-sama kita menempuh jalan berlainan arah, tempat yang kita tuju, yang akan mempertemukan kita. Di tempat yang sederhana. Sederhana seperti perasaan yang kita jaga.

What Do We Thought About Love?

“Cinta itu tentang memberi, memberi apa yang kita miliki.

Kita miliki dalam hati, miliki dalam kepala, mata, dan telinga.

Meski yang kita berikan padanya hanyalah satu-satunya hal yang kita punya.

Meski kita tak tau apa balas dari sesuatu yang kita berikan secara ikhlas, hanya tentangnya, dia, dan dirinya.

Meski akhirnya harus berujung jua, maka tak ada penyesalan atas pemberian yang kita relakan menghilang bersama kenangannya.”

Senyuman hangat, air mata yang menguap. Sama berat akan dua sisi arah mata angin. Masih sayup-sayup suara lirih sunyi yang kini menyiksaku, datang dan pergi. Kembali lalu pulang dan berlalu lagi saat malam-malam yang panjang menjelang.

Old Words



Bukan berharap untuk bersama lagi, sekedar bertemu saja kesempatan itu sudah lebih kecil dari setetes hujan diantara hujan lainnya. Tapi mengapa ia mau menunggu? Berjalan kedepan dengan tubuh menghadap belakang, bercanda ria dengan sekitar tapi masih menulis cerita pilu masa silam. Setiap goresan tinta miliknya hanya untuk sang kekasih, untuk orang yang masih ditunggunya.
                                        
Dia berkata padaku...
"Rumahmu bukan seperti rumah para petani dihamparan padang, hanya sesaat diperlukan dan kemudian ditinggalkan. Pantaskah itu disebut perteduhan...? Kalau kamu masih belum mendapatkannya maka carilah. Tapi aku mengerti, tentang mata, tentang hati, ada yang tak bisa dilihat & disadari oleh keduanya ketika berhadapan langsung dengan sebuah kebesaran... Seperti sebuah gedung, kamu tak cukup hanya tegak menatap, tapi kamu perlu menengadahkan pandangan, agar tau arti sebuah ketinggian. Bukan mustahil, ada sesuatu yang besar disekitarmu sekarang, hanya kamu yang belum menyadari."


Mungkin itu sebuah ungkapan bahwa dalam dirinya, terdapat kisah yang bukan hanya dengan mudah untuk berlari begitu saja. Aku terbiasa menertawakan mereka yang menangis tersedu hanya untuk sebuah cerita cinta. Tapi untuk keteguhannya, sedikitpun aku tak pernah berfikir kisah cinta itu pantas untuk diremehkan. Ia lebih dari sekedar mengerti tentang waktu yang lama berjalan. Tentang cinta yang tak akan pernah berakhir sampai akhir cerita yang telah ditentukan, terkadang tak ada pilihan untuk kita berputar arah atau kata selamat dari keterpurukan. Tapi dituliskannya lagi, “ Aku baik-baik saja, hanya saja tak sebahagia saat bersamanya.” Apakah cinta memang bisa membuat suatu ikatan yang indah? Aku tak tau, aku tak pernah melihatnya, tak pernah mendengar suaranya. Tapi ia begitu nyata, setelah melihat penantiannya yang begitu setia tanpa berpaling, tanpa menyalahkan cinta yang disimpanya tidak terasa manis. Kini semuanya tenggelam lagi saat berkurang cahaya, mimpi-mimpiku hanya sebuah keramahan fatamorgana. Aku tak sekuat dirinya, yang dalam diam menerka, mencari tahu arti kehidupan meski bukan hal mudah untuk mencari sebatang jarum yang tenggelam menyusup dalam kabut pekatnya takdir.


*dedicated to my Bro Jusef Ahmad