Ia
mengayunkan dahan-dahan dan yang melekat di bagian-bagian tubuhku dengan
kesejukannya. Ya, aku adalah sebatang pohon. Sebatang pohon yang tumbuh besar
di sebuah pulau yang tak begitu banyak diketahui oleh dunia di luar sana. Aku
adalah pohon yang paling besar di daerahku, di sekitar tempatku tumbuh, ada
beberapa pepohonan yang juga besar namun tak sebesar diriku.
Mungkin
karena diriku sangat besar, maka dari itu aku tak mudah ditebang dan dirobohkan
seperti pohon-pohon yang lain ketika penduduk pulau ini ingin membuka lahan
untuk bercocok tanam. Kapak-kapak kecil mereka tak akan mampu memotong batang
tubuhku.
Beberapa
hari yang lalu, ku dengar penduduk akan segera membuka lahan baru di daerah
ini, termasuk tempatku tumbuh sekarang. Aku mendengarnya dari pohon-pohon sekitar yang
mulai mempersiapkan diri, bersiap untuk ditebang dan dihilangkan. Terdengar
menyedihkan memang, tapi apa lagi yang bisa kami dilakukan selain bersiap untuk
segala kemungkinan? Terlebih kami para pohon memang sudah ditakdirkan begitu.
Aku pun sudah cukup lama menunggu giliranku, aku sudah terlalu bosan berdiri
dari masa ke masa sampai aku tua seperti sekarang. Meskipun aku adalah pohon yang
tampak besar dan gagah, tetap saja jiwaku tua dan sudah lebih dari cukup aku merasakan
berbagai macam musim, angin, air hujan, dan menemui berbagai macam binatang
yang singgah di rantingku atau berteduh dibawah dahanku.
Setiap
hari, satu sampai tiga pohon berhasil ditebang. Mereka menebang secara
berurutan, dari yang kecil, hingga yang lebih besar.
Sampai
akhirnya, giliranku tiba.Di antara tanah yang sudah lapang dan siap dijadikan lahan, tertinggal diriku
berdiri di tengah-tengah. Seorang diri. Aku sudah siap, aku merasa bersemangat
karena kurasa aku akan menjadi lebih bermanfaat ketika sudah ditebang nanti.
Tubuhku yang besar akan dijadikan papan-papan untuk membangun tempat tinggal,
ranting-rantingku yang nantinya kering akan dijadikan kayu bakar.
Apa
yang lebih menyenangkan selain hidup yang memiliki banyak manfaat?
Tapi
seperti yang sudah ku duga. Penduduk pulau kebingungan memikirkan bagaimana
caranya agar tubuhku yang besar dapat segera dan mudah ditebang.
Kulihat
para penduduk yang nampak gagah itu berbicara satu sama lain dan mendiskusikan
sesuatu.
Keesokan
harinya, mereka datang kembali, kali ini dengan jumlah yang lebih banyak.
Mungkinkan mereka akan menebangku secara beramai-ramai atau bergantian?
Meskipun begitu kurasa tetap akan memakan waktu lama dan sedikit menyakitkan.
Namun
sepertinya perkiraanku salah. Para penduduk yang gagah berani itu malah mulai
duduk mengelilingku, sebagian naik dari dahanku.
Lalu,
mereka mulai berteriak, keras sekali. Mereka meneriakan kata-kata kasar dan
mulai mengutukku.
“Pohon
jelek!” Kata salah satu dari mereka.
“Tidak
berguna!’ teriak yang lain.
“Kau
pengganggu!” “Parasit..” Mati saja kau!”
“Menyusahkan!”
Bermacam-macam dan berulang-ulang. Aku tak mengerti mengapa mereka
melakukan itu, sangat aneh. Apa yang mereka harapkan akan terjadi?
Tetapi,
hari demi hari mereka melakukan kegiatan itu, mengelilingiku, meneriakkan
kata-kata kasar dan kutukan. Hari ini, adalah hari keempat, aku mulai merasakan
sesuatu yang aneh. Entah kenapa aku merasa sedih, tiba-tiba aku benar-benar
merasa tak berguna dan kehilangan tenaga.
Hari
demi hari, daun-daunku yang dulunya segar dan hijau mulai berubah warna dan
satu persatu berjatuhan. Begitu pula
ranting-rantingku, mulai rapuh dan tak dapat bertahan.
Pada
hari ketujuh hampir semua daunku telah rontok. Berjatuhan tanpa bisa kukendalikan.
Aku merasa tidak mampu lagi menahan bagian-bagian lain tubuhku. Dan rasanya
menyakitkan mendengar mereka meneriakiku setiap hari. Jika ingin melenyapkanku, tebanglah dengan
cara yang lebih cepat dan tak menyakitkan seperti ini.
Aku
melihat satu laki-laki diantara para penduduk. Laki-laki yang biasa berteduh
dibawah rindangnya dahanku. Lelaki berkulit hitam dengan rambut berwarna
kekuningan dan mata biru yang indah. Aku
ingin menyuruhnya memberitahu penduduk agar segera saja menebangku. Tapi ia tak
akan mengerti dan aku juga tak tahu cara untuk mengatakannya.
Akhirnya,
pada hari kesepuluh, aku merasakan hal yang melelahkan, energiku untuk berdiri
sudah menghilang bersama kata demi kata yang dilontarkan dengan nyaring itu.
Batang tubuhku sudah mengering dan aku hampir mati.
Hari
ini angin musim panas terasa sejuk sekali,
disaat-saat terakhirku ia datang untuk memberi sedikit kebahagiaan.
Apa
yang lebih membahagiakan selain sesuatu yang kita butuhkan datang tepat pada
waktunya? Aku berbicara tentang angin yang berhembus pada musim panas. Angin
terbaik. Karena ketika aku membutuhkannya, ia datang.
Tubuhku
yang dulu besar dan gagah berdiri ditengah lahan terbuka. Tubuhku, yang dulu
tak bisa dipotong dengan kapak, tanpa kuduga mati dengan sendirinya hanya oleh
suara-suara nyaring dan kasar dari penduduk. Tubuhku, yang kini sudah kering
dan tak bernyawa.
Para
penduduk ini, mereka memang tak dapat dengan mudah menaklukanku dengan
kapak-kapak kecil. Tapi mereka dapat dengan mudah meruntuhkanku dengan cara
menghancurkan kebahagiaanku sebagai pohon yang besar dan berguna. Dengan cara
sedikit demi sedikit menggerogoti rasa percayaku akan diriku.
Melda,
March 12th 2015.
_____________________________________________________________________________
P.S:
Cerita ini terinspirasi dari film “Little Stars On The Earth” yang menyebutkan
tentang kisah dari pulau Solomon.
Gue juga suka kisahnya LSOTE
BalasHapus