Dia
duduk dengan memeluk kedua lututnya di atas kursi tua di samping jendela
berdebu. Pada pagi hari jendela itu menghantarkan cahaya matahari yang hangat masuk
ke dalam ruangan ini, mungkin karena itulah dia menyukai duduk di kursi tua
itu. Untuk menghangatkan tubuhnya yang dingin. Pandangannya kosong dan bibirnya
bergetar, tampak biru. Aku memeluknya dari samping, tubuhnya begitu kurus dan
lesu. Aku dapat mendengar nafasnya yang lembut, aku berbisik sambil menyeka
poni kusam yang melindungi dahinya.
“Kamu
harus makan sesuatu, Ran.” Ia hanya bergeming.
Sudah
sejak kemarin kulihat ia tak menelan apapun selain alkohol. Aku mencoba mencegahnya
tapi Ran mengatakan bahwa ia harus mengumpulkan tenaga. Konyol! Alkohol-alkohol
itu tak akan memberinya tenaga, sebaliknya hanya akan membuatnya mati
pelan-pelan jika ia meminumnya terlalu banyak. Ia sudah meminum enam botol dan
akan segera mengabiskan yang ketujuh. Wanita gila.
Aku
mengkhawatirkan kebiasaannya ini, dia tak pernah mau berbicara jika ada hal
yang mengganggu pikirannya. Dia hanya akan terus menerus minum sampai ia merasa
lebih baik. Begitu katanya.
Aku
mengenal Ran sebulan lalu di sebuah café di pinggiran kota tempatku bekerja. Perkenalan
yang sederhana, seminggu kemudian kami semakin dekat dan dia memintaku untuk
tetap tinggal di kontrakannya. Aku setuju saja, toh, aku masih lajang dan tak
punya siapa-siapa di kota ini. Aku hanya tinggal di sebuah kost-an yang jika
hendak menuju kesana kau harus melewati gang busuk dan berbau, kusewa sebagai
tempat berteduh karena harganya yang tentu saja murah. Aku tak tau dinamakan
apa hubungan di antara kami ini, kami tak pernah saling menyatakan cinta. Tapi,
aku merasa sayang kepadanya. Dan kami, melakukannya seperti sepasang kekasih.
Aku
tak pernah benar-benar bisa mengerti apa yang diinginkan wanita ini. Sikapnya
selalu dingin, seperti juga tatapannya. Tapi aku menyukainya.
Sekali
ia pernah berbicara hal aneh kepadaku saat kami baru terbangun pada suatu pagi
buta. Ia mendekatkan bantalnya ke samping kepalaku, mengelus rambutku;
tangannya terasa begitu lembut dan hangat.
“Apa
kau pernah merasa waktu berjalan sangat cepat, Rai?” Ucapnya.
“Maksudmu?”
“Seperti,
hari yang kamu lalui hanya berjalan sia-sia.”
“Hmmm..
Saat merasa bahagia, saat aku tertidur, dan saat aku melakukan hal yang aku
sangat sukai, saat-saat seperti itu waktu akan terasa berlalu sangat cepat,
kurasa. Tetapi aku tidak merasa semua itu sia-sia.” Jawabku sekenanya. Aku
ingin mengatakan saat dia berada di sampingku juga membuat waktu berjalan
cepat, tapi aku tak bisa mengatakan hal seperti itu. Aku bukan pria yang
romantis.
Dia
membasahi bibir tipisnya.
“Kau
tahu, Rai? Waktu juga akan terasa berlari begitu cepat ketika kita merasa
sangat takut dengan sesuatu yang akan kita temui di depan sana.”
Aku
rasa aku sedikit mengerti maksud Ran. Seperti saat aku mengkhawatirkan batas
waktu hutangku, karena uang yang harusnya kukembalikan belum juga terkumpul.
Aku merasa sangat takut para penagih hutang akan datang dan membayangkan mereka
memukuliku. Waktu terasa sangat cepat saat itu.
Tapi
kenapa dia menanyakan hal seperti itu? Aku tak bertanya dan juga tak begitu
ingin tau.
Dia
juga mengatakan bahwa ia hanya dapat merasakan bahagia ketika berada dalam
keadaan setengah bermimpi. Aku tak mengerti apa maksudnya, untuk seorang pria
yang hanya tau cara mencari uang untuk mengisi perut sepertiku, tak pernah aku
berpikir terlalu jauh atau terlalu dalam.
Seminggu
lalu aku melihatnya tengah menulis sesuatu pada sebuah kertas lusuh.
“Kamu
sedang menulis apa, Ran?” Tanyaku penasaran.
“Surat.”
“Untuk
siapa?”
“Untuk
diriku sendiri.”
Aku
tersenyum kecil, mungkin ada beberapa orang di dunia ini yang menulis surat
untuk diri sendiri. Tapi tak banyak, aku yakin. Aku membiarkannya melakukan apa
yang dia inginkan, termasuk menulis surat untuk dirinya sendiri. Setiap orang
berhak untuk melakukan apa yang mereka inginkan atau mereka sukai, bukan?
Sungguh tidak adil menghakimi sesuatu yang orang lain anggap bisa membuat
dirinya senang hanya karena bagimu itu aneh. Toh, itu tidak membahayakan
dirinya atau orang lain.
Tiga
hari lalu dia memberikan sebuah kertas dengan tulisan tangan di atasnya padaku.
“Bacalah.”
Katanya.
“Apa
ini suratmu itu?” Dia mengangguk.
Aku
mulai membaca surat itu;
Kepada
Ranaya ,
Tadi
malam aku melihat ibu dalam mimpiku, dia sedang menyisir rambutnya di depan
cermin di meja riasnya. Dia mengenakan gaun berwarna biru tua yang cantik. Aku
memeluknya erat, kemudia dia menghilang. Aku merindukannya Ran. Aku rindu
ketika dia menyisir rambutku, aku rindu saat dia menyanyikanku lagu sebelum
tidur. Aku selalu merasa sejak ibu pergi meninggalkanku, aku tak akan bisa
bahagia lagi. Aku merasa kekuatanku hilang, hanya aku yang dia miliki. Tapi
kenapa dia meninggalkanku begitu saja?
Aku
tahu persis bagaimana kau menjalani hidupmu sejak itu, dari bulan dan
tahun-tahun. Kau selalu bertanya-tanya setiap hari, apakah besok kau akan mati?
Kau sudah bertambah dewasa sekarang, Ran. Kau selalu berakata bahwa kau ingin nanti
mati dengan sebuah arti.
Ran,
sekarang aku melihatmu berada dekat dengan seseorang. Aku tau dia orang yang
baik, kan? Aku bisa merasakan senyumnya yang tulus kepadamu. Dia berkata
“Jangan gunakan telapak tanganmu untuk menghukum kesedihan.” Kau harus
mendengarkannya, Ran.
Aku
melihat pantulan bayangan pucatmu pada air setiap pagi, aku tahu kau merasa tak
berarti. Tapi kau harus bertanya pada seseorang, mungkin kau berarti baginya.
Terlalu
pagi untuk menjadi besok yang kau tanyakan, jika kau rindu katakanlah.
Jangan
membuang waktu hanya untuk orang yang ingin pergi darimu.
Dari
Ranaya.
Begitulah
isi surat itu, aku tak berkata apa-apa selain memeluknya dengan erat. Ada
sesuatu yang tak ingin aku lepaskan sekarang dari wanita ini.
Hari
ini aku pulang dari pekerjaan pukul setengah sebelas malam, berjalan dengan sedikit
terburu-buru sambil membawa beberapa kue coklat yang harum baunya. Aku harus
membujuk Ran untuk makan, kalau perlu aku akan memaksanya, aku takut dia akan
benar-benar mati. Sekarang aku merasa sangat takut jika sampai kehilangannya.
Seketika
darah terasa memanas disekujur tubuhku saat aku memasuki pintu kamar kami,
lututku lemas hampir tak mampu menopang tubuh yang tak seberapa beratnya ini. Bungkusan
kue yang kubawa terjatuh begitu saja. Aku melihat Ran tergolek lemah di kursi
tua itu, dengan darah mengalir yang berasal dari nadinya. Bergegas aku
menghampiri tubuh Ran, aku hampir menagis karena panik.
“Ran,
apa yang kau lakukan?!” Bentakku.
Dia
hanya tersenyum, aku harus segera membawanya ke rumah sakit. Tepat saat aku
mengangkat tubuhnya, aku merasakan sesuatu yang mengganjal diperutku. Tiba-tiba
udara seakan menjauh dari tempatku benafas. Sesak. Tubuhku ambruk, dan Ran
terhempas dari gendonganku.
Dalam
pandangan separuh menggelap aku melihatnya tanganya menggenggam jemariku.
Dengan suara dingin namun terdengar manis dia berkata,
“Rai,
kita akan pergi… Kita akan pergi ke dalam mimpiku, besama-sama.”
Aku
bahkan tak berusaha membantah keinginan gilanya itu. Mungkin karena, aku
mencintainya.
Banjarbaru,
23 February 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar