Aku tak
begitu terkejut ketika ibu mengatakan bahwa dua minggu lagi aku akan dinikahkan
dengan Ridha, anak dari sepupu ayahku yang juga sekampung dengan kami. Karena
memang begitulah caranya hampir semua gadis di kampung-ku menikah, dengan cara
perjodohan dan pada usia yang terlalu muda menurut orang-orang yang tinggal di
kota, 13 tahun.
Sudah
menjadi “Budaya” di sini, jika anak gadis sudah mengalami menstruasi dan bisa memasak,
maka sang orang tua akan segera memikirkan calon suami dan tanggal pernikahan. Katanya
untuk menghindari hal yang tidak diinginkan, karena pada usia kami yang sudah
mulai mempunyai rasa ketertarikan terhadap lawan jenis, bisa saja melakukan
hal-hal yang dapat mempermalukan keluarga. Dan, tentu saja agar para orang tua
dapat bernafas lega, ketika anak gadisnya sudah bersuami, maka suaminya-lah yang
bertanggung jawab memberi nafkah dan menuntun si gadis menjalani kehidupan.
Pagi ini
terlihat dan terasa sama seperti biasanya, harum dari tanaman yang dijatuhi
embun menyegarkan pikiran, juga kabut tipis yang menyeruak masuk ke kamarku
ketika jendela terbuka.
Hanya
saja, dari semalam aku terus memikirkan diriku yang dalam dua minggu lagi akan
menjadi seorang istri. Sejak kecil, aku sudah melihat banyak pernikahan di kampung
ini, kebanyakan dari perjodohan dan sisanya karena memang ada rasa ketertarikan
serta pilihan satu sama lain. Dulu aku berpikir memang begitulah jalannya,
setiap wanita dan laki-laki memiliki tugas dan perannya masing-masing yang
harus dipenuhi. Setelah menjadi seorang anak, kau akan menjadi seorang istri
atau suami, lalu menjadi seorang Ibu atau seorang ayah, dan seterusnya sampai
akhirnya meninggal dunia. Sederhana.
Tapi isi
kepalaku kini menjadi agak kacau. Sebab, beberapa bulan lalu para mahasiswa
yang PKL di kampungku mendirikan sebuah perpustakan kecil untuk umum, dan aku
mulai sering datang kesana dan membaca banyak buku.
Kak
Nisa, salah satu mahasiswa itu dengan senyuman bertanya padaku.
“Yasmin,
cita-citamu apa?”
Aku
sudah pernah mendapatkan pertanyaan itu sewaktu disekolah dasar, ibu guru yang
bertanya, semua anak-anak dikelas menjawab dengan jawaban yang beragam, ada
yang ingin menjadi dokter, guru, pilot, dan lain sebagainya yang beberapa waktu
ini ku sadari semua itu tak pernah benar-benar menjadi cita-cita. Aku yakin
teman-teman di kelasku menjawab bukan
karena mereka memang ingin menjadi semua itu, tapi karena hanya profesi itu
saja yang mereka pernah ketahui.
Sekarang
aku mulai bertanya-tanya tentang bagaimana kehidupanku nanti setelah menikah?
Apakah aku akan menjadi istri yang baik? Apakah Ridha akan menjadi suami yang
tepat bagiku? Apakah aku akan bahagia?
Pertanyaan
terakhirlah yang paling mengganggu pikiranku. Sebuah pertanyaan yang tak pernah
terpikirkan olehku sebelumnya, sebuah pertanyaan yang tiba-tiba saja menjadi
penting untukku.
Ridha
adalah pemuda yang baik, aku bisa mengetahuinya karena aku sering bermain
dengannnya sejak kecil. Tapi, bagaimana jika nanti aku tidak menyukainya sebagai
suamiku? Atau, bagaimana jika aku akan lebih senang jika aku menjalani
kehidupan yang lain selain menjadi seorang istri pada usia muda seperti
sekarang?
Aku
berpikir tentang pernikahan yang seharusnya dilakukan dengan rasa cinta satu
samalain agar menjadi sebuah rumah tangga yang bahagia, seperti yang kubaca
dalam novel-novel romantis. Bukan karena kewajiban sebuah peran.
Jika
dulu aku menyetujui ide tentang peran ini, kini pandanganku sudah berubah. Aku
tidak ingin nantinya pernikahanku menjadi pernikahan yang sudah pernah dialami
pasangan muda yang lain, karena terlalu muda dan belum matang, akhirnya
permasalahan dalam rumah tangga pun tidak bisa diselesaikan secara dewasa dan
berujung pada perceraian. Sekali lagi, aku berpikir pernikahan seharusnya dilakukan
dengan atas dasar cinta dan keyakinan penuh pada pasangan yang sebisa mungkin
satu untuk seumur hidup.
Aku pernah
menyaksikan beberapa cerita di televisi, di mana ketika gadis yang tidak setuju
untuk dinikahkan dengan pria pilihan orang tuanya akan memberontak atau nekat
kabur dari rumah. Aku bisa saja melakukan hal seperti itu jika aku tiba-tiba
merasa sangat tidak ingin menikah sekarang, tapi aku tidak ingin membuat orang tuaku sedih dan
malu. Percayalah, jika kau lahir dan dibesarkan di sebuah kampung seperti ini,
sulit untuk tidak menjadi orang yang sentimental.
Sama
hal-nya seperti Laila, kakak kelasku yang kabarnya sekarang sering melamun dan
berbicara sendiri karena tidak tahan terus ditekan oleh orang tuanya agar
segera menikah karena adik perempuannya akan segera dinikahakan, dan tentu saja
pelangkahan seperti itu dianggap sesuatu yang sangat tidak dianjurkan dalam
pendapat masyarakat di kampung seperti ini. Laila menolak laki-laki yang
dijodohkan dengannya, tapi dia juga belum bisa menemukan orang yang dia inginkan
untuk menjadi pasangan hidupnya. Dalam situasi seperti itu, sebuah keputusan pasti
apa saja yang datang ke dalam kepalamu rasanya
akan menyenangkan daripada terus didesak saat kau tidak yakin atas pilihanmu sendiri.
Masalahnya, bagaimana kau bisa yakin bahwa kau sudah mengambil pilihan yang
tepat jika kau memikirkan pilihanmu mungkin saja tidak lebih penting dan tidak
lebih menyenangkan daripada pilihan yang lain. Akhirnya pilihan-pilihan itu
membuatmu tenggelam dan tak bisa bernafas karena kau tidak bisa memilih
semuanya.
Pernikahan
dari perjodohan dan atas dasar kewajiban akan peran ini seperti sebuah
kepastian yang tidak pasti. Aku belum merasa siap untuk menerima kekecewaan di
tengah jalan nanti karena mulai saat ini aku menaruh harapan besar dalam
kehidupan pernikahanku, harapanku itu adalah kebahagiaan.
Hari
ini, ketika wajahku sudah dirias sedemikian rupa dan pakaian pengantin
tradisional sudah terpasang di badanku. Orang-orang dan kerabat jauh
berdatangan, bau-bau harum yang asing tercium disetiap sudut kamar.
Hari ini,
pada akhirnya, aku tak bisa melakukan apa-apa untuk melawan budaya tak tertulis
ini. Terlalu banyak kebimbangan saat aku ingin memutuskan untuk melakukan suatu
hal agar pernikahan ini ditunda sampai aku merasa siap.
Saat
penghulu bersiap dengan Ridha yang duduk di hadapannya dan dikelilingi
orang-orang sebagai saksi. Ijab Kabul diucapkan,
“Bagaimana?
Sah..?” Tanya pak penghulu.
Melda, 18th February 2015.
Pic Source
Untungnya semua Happy Ending :)
BalasHapus