“Laki-laki yang yang selalu menahan rindu sepertimu
itu pengecut, Naveen!”
Dadaku hampir saja meledak saat mengatakan itu padanya. Dia selalu mengatakan kalimat itu jika aku mencoba menanyakan perihal rindu, dia bisa menahan rasa rindu, katanya. Bahkan menguburnya dalam-dalam jika memang tak memungkinkan untuk bertemu. Demi Tuhan, aku bosan melihatnya pura-pura tegar.
Aku
tau dia tak bisa berpisah denganku lebih dari seminggu. Seperti hal-nya
diriku. Selama ini, kami selalu saling membutuhkan. Tapi sekarang, sudah
hampir satu bulan lainnya dia mengabaikanku, tanpa kabar apapun.
Kemarin tiba-tiba saja aku mendapat pesan singkat darinya yang isinya
mengajaku untuk bertemu.
"Aku menahannya karena aku tak mau hatiku terasa nyeri karena rindu padamu."
"Dan kita sudah satu bulan tak bertemu."
"Ya."
"Lalu kenapa kau tak berusaha menemuiku?"
“Aku ingin menemuimu, hanya saja…”
“Hanya saja apa?”
“Aku sudah bilang aku tak bisa melanjutkan hubungan kita.”
“Tapi kenapa?”
“Aku sudah memberitahumu alasanku.”
“Alasanmu tak masuk akal.”
“Itu masuk akal.”
Ya, alasan untuk memisahkan hubungan kami ini memang masuk
akal. Hanya saja aku tak mau menerimanya. Terlalu klise.
.
“Tapi kita bisa melalui ini semua, kita sudah sejauh ini..”
“Aku hanya tak ingin membuat sedih kedua orang tuaku, Neha.”
“Kita masih bisa berusaha, apapun caranya, seperti katamu dulu!”
“Aku sudah lelah memperjuangkannya.”
“Apa?”
“Kau mendengarku.”
Aku mencoba memegang tangannya, lalu menggenggamnya. Air
mataku hampir tumpah. Tepi sungai tempat kami bertemu yang biasanya tenang, saat
ini terasa seperti tebing lautan yang siap menelanku hidup-hidup.
“Aku tak mau putus, apapun alasanmu.”
“Neha, Mengertilah!"
“Aku tak mau mengerti.”
“Aku sudah mengatakan semuanya, sekarang aku mau pergi.”
“Tunggu dulu.”
“Ada apa lagi?”
“Kau belum mengatakan semuanya, aku yakin masih ada alasan
lain.”
“Tidak ada.”
“Aku tak percaya”
“Terserah.”
Aku tak mengerti mengapa dia tiba-tiba ingin memutuskan hubungan
kami dengan alasan yang dari dulu sudah kami ketahui rintangannya. Alasan yang
sejak awal sudah kami perjuangkan. Pun, sikapnya tiba-tiba dingin seperti sekarang ini.
“Apa kau sudah tak yakin padaku?”
“Aku..”
“Katakanlah.”
“Aku harus segera menikahi wanita yang dipilih orang tuaku.”
“Apa?”
“Kau mendengarku.”
Aku melepaskan tanganku darinya, tak bisa lagi kutahan air
mata yang beberapa menit lalu masih belum gugur.
“Jika memang kau mencintaiku, kau tak akan dengan mudah
menerimanya!”
“Aku tau.”
“Kau tau.”
"Maafkan aku."
"Maafkan dirimu sendiri."
"Neha..."
"Kau tidak menahan rindu Naveen, kau memang tak merindukanku, lagi. Seharusnya aku tau itu."
kasihan. kayak siti nurbaya aja..
BalasHapusBegitulah, terimakasih sdh baca :)
Hapus