Cahaya
matahari mulai jingga tua, ayat-ayat suci terdengar dari alat pengeras masjid, pertanda
akan segera magrib. Aku dan Amang Uli menuju ke lanting untuk mengambil air
wudhu. Sebelum berwudhu, kami duduk sebentar di tebing dekat lanting sembari
menunggu adzan magrib berkumandang.
“Ikam
lihat nah Rip!” Amang Uli menunjukan jarinya.
“Wah,
cincin baru kah Mang?”
“Iya,
ikam lihat batu cincin ini, bagus, kan?”
“Bagus,
mang!”
“Cincin
ini amang beli kemarin, harganya lima ratus ribu.”
“Mahal
sekali mang, memangnya itu batu langka,
kah?”
“Bukan
sih, ini batu cincin biasa saja, yang membuat mahal itu karena ada “isi”-nya.”
“Isi?”
“Iya
Rip, batu cincin ini sudah diisi dengan sesuatu agar bisa menjaga kita dari
celaka.” Jelas Amang Uli bersungguh-sungguh.
“Oohhh…”
Sahutku sambil manggut-manggut.
Aku
tak begitu mengerti, juga tak ingin tahu apa yang dimaksud Amang Uli, lagipula
kata Ustadz Zaini, percaya terhadap benda seperti itu bisa membuat kita menjadi
musyrik.
“Kalau
ikam mau, nanti kita ke tempat penjualnya mumpung masih harga penglaris
katanya.”
“Ah,
tidaklah mang, aku tak suka memakai cincin batu.”
“Bah,
Payah ikam ni Syarip.”
“Hehehe…”
“Ya
sudah, tapi nanti ikam tawarkan lah pada yang lain, siapa tahu mereka tertarik.”
“Inggih
mang.”
Allahuakbar.. Allahuakbar…
Adzan
magrib sudah berkumandang, langit mulai gelap. Kami bergegas turun ke pinggiran
lanting untuk mengambil air wudhu.
Terlihat
kelotok melintas di tengah sungai, gelombang yang ditimbulkan oleh kelotok
membuat lanting bergoyang-goyang.
Byuurrr… Terdengar seperti seseorang
tercebur.
Setelah
ku tengok, aku sontak tertawa terbahak-bahak ketka melihat Amang Uli sudah
basah kuyup karena tercebur ke sungai yang dalamnya sedada.
“Sialan
ikam Rip! Bukannya berusaha menolong malah tertawa.”
“Amang
minta tolong saja pada cincin batu amang yang menjaga dari celaka tu. Hahaha…”
Cincin
batu, ada-ada saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar